Kamis, 17 Juli 2008

Bercabang

Tiba-tiba ia menyeruduk masuk. Gelagapan. Menengok kiri-kanan. Kemudian terduduk diatas lutut yang terjatuh.

“aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh”
“aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”
“aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”

Suaranya serak. Tertahan. Terhambat. Sulit ia mengungkap kata.

“Kok bisa gw dalam situasi ini?” ia bersoliloqui. “Seandainya gw hidup tanpa ikatan norma hati, gw pasti bisa melakukannya”

Ia pun berdiri. Tak sadar kalau sedari tadi sholeh memerhatikan gerak-geriknya, ia menjingkat. Matanya sedikit terbelalak. Seperti terkaget, malu.

”Lo leh... ngapain lo dikamar gw?

Tangannya menyapu pipi yang basah. Bunyi nafas menyedot air hidung, tak lama kemudian menyusul. Arif tersengguk. Kondisinya belum pulih.

”Tadinya gw mau balikin dvd yang gw pinjam. Sekalian gw mau nonton dikamar lo dvd yang baru. Eeee... baru aja mau nyalahin tv, lo nylonong kayak orang stress. Kenapa lo?

”Gw malu leh. Gw malu ama diri gw sendiri”

“Malu? Lo udah ngehamilin anak orang? Atau lo udah ganti kelamin? Hahahahahaha....” kelakar sholeh mencoba menetralisir keadaan.

“Anjing Lo.... gw lagi susah, lo malah ngajak bercanda”

Arif diam. Kosong ia menatap kemuka. Jari tangannya ia kumpulkan dan menari-nari kecil. Sesekali jari itu ia daratkan dimulut, dan dilain kali ia senderkan dilutut. Kerap ia menggeleng. Tertunduk. Kemudian tengadah. Kelakuan itu terjadi berulang-ulang.

”Woi, jangan kayak orang stress gitu dong..... kayak abis ditinggal mati pacar tercinta aja... hehehe” bibir sholeh moncong kedepan. Suara kalimat yang keluar darinya jadi seolah mengejek. ”ada apa sih...??? ada apa??” tanya sholeh masih dengan intonasi yang sama.

Arif masih tak bergeming. Kali ini ia memutar badannya, memunggungi sholeh. Posisinya seperti orang semedi. Namun tak berapa lama, ia memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Dagunya ia bebankan kekedua lutut. Iapun bergoyang. Maju. Mundur.

Bersambung...